Sabtu, Juli 26, 2008

About Defirdaus



Mengingat masa kecilku adalah masa-masa bahagia. Aku lahir di sebuah desa di pegunungan. Dari tasikmalaya ke selatan sekitar 20 km, melewati Singaparna sebuah kota kecil dengan hamparan sawah di kanan dan kiri jalan. Jalanan mulai menaik, artinya desa kelahiranku tidaklah jauh lagi. Ketika menjumpai perkebunan Teh di ASD terus menelusuri hamaran Kebun teh di samping kiri kanan jalan, kemudian lewat Ci rendeu, Kampung Nagrak Baru sampai di pangkalan ojek Burujul naik ojek ke Kampung ci Ranca, Sukasari. Nah di situlah konon kata Ibuku aku dilahirkan.

Desa di ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan air laut, terasa sejuk. Bila pagi datang, suara cericit burung emprit menyambut disusul kokok ayam jantan. Kabut putih masih tebal dan baru jam 7an ketika mentari sepenggalah barulah kabut menipis. Walaupun kabut masih tebal dan jarak pandang paling 10 meter-an, jangan dikira pagi akan hening dan sepi. Di jalan desa bisa ditemui anak-anak sekolah yang berangkat berjalan kaki. Maklum sekolah SMP dan SMU cukup jauh, harus berjalan kaki sekitar 10-15 km ke jalan raya kemudian naik angkutan pedesaan pick-up yang akan mengantar ke Ci Comre, Ci Awi atau ke Taraju, kota kecamatan terdekat. Jika ingin naik bis mini ukuran 1/4 atau 3/4, mesti jalan kaki atau naik ojek menembus pekat kabut pagi menerobos perkebunan Teh. Sepanjang jalan akan bertemu wanita-wanita perkasa yang menjinjing bakul ke pasar atau membawa pancong (pacul kecil) yang dipakai bekerja sebagai buruh perkebunan. Juga bapak penyadap Pohon Aren pun sudah ada.
>
Kira-kira itulah suasana desa kelahiranku. Mayoritas penduduknya adalah petani atau buruh tani, sedikit pedagang dan pegawai negeri. Orang tuaku juga petani, Kakekku seorang Pengsiunan TNI desa mengisi hari tuanya. Menikmati hari di sini adalah kedamaian. Ketika aku lahir, listrik belum ada sehingga malam diselimuti kelip lentera minyak tanah atau terkadang lampu petromaks apabila ada kenduri. Jalanan belum diaspal, hanya batu kali sebagai pengeras jalan ditata rapi sebagai hasil proyek padat karya. Makanya hati-hati berjalan dikala malam, jalanan yang turun naik resiko terantuk batu di tengah gelap tak ada lampu jalan berbekal obor. Tapi kebanyakan pria di sini mampu berjalan di tengah gelap pekatnya malam, syukurlah kemampuan ini cukup terwaris ke diriku sehingga bermanfaat ketika naik gunung di malam hari.

Ketika itu, menonton televisi hanya bisa dilakukan dengan bantuan daya strum aki, yang cukup bertahan untuk seminggu. Jika habis strum akinya, mesti dibawa ke tukang strum yang ada di Pasar Wijahan sekitar 5 km turun ke selatan, atau ke Sokawera sekitar 5 km turun ke utara. Kalau pas aki habis, terpaksa nonton TV di rumah Pak Lurah yang dah pakai generator diesel. Listrik terpasang juga ketika aku di kelas 5 SD.

Suasana malam desa hanya hidup sampai jam 9an. Setelah itu semua terlalu lelah setelah bekerja di kebun atau sekolah. Naik ke pembaringan mempersiapkan energi untuk esok pagi. Malam pun merambat pelan dan kabut dingin mulai turun. Tidak ada deru kendaraan, atau dentuman musik dugem maupun dering telepon. Hanya krik krik jangkrik dan sesekali suara burung hantu mengiringi tidur. itulah dea kelahiran ku yang selalu ku ingin pulang

www.defirdaus.blogspot.com

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template